Rasa-rasanya rasa muakku sudah sampai pada puncaknya.
Setelah
membaca rubrik Humaniora di harianKompas edisi hari ini, aku menjadi
semakin jengkelsaja dengan kebijakan sistem pendidikan di Indonesia yang
kian lama kian wagu saja. Akhir-akhir ini rubrik Humaniora Kompas
memang banyak menyoroti tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Diawali
dengan pemberitaan mengenai ide cemerlang dari salah seorang ketua RW
di salah satu desa di Sala Tiga yang dengan kreatifnya menggagas sebuah
sekolah alternatif untuk siswa SLTP dengan konsep sekolah terbukanya
sampai pada kegilaan mungkin lebih tepat jika disebut kebodohan dari
pemerintah mengenai rancangan sistem jalur pendidikan yang baru.
Dalam
sistem pendidikan yang baru ini pemerintah akan membagi jalur
pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur
formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan
akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi
siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur
formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa
dikatakan kurang bahkan tidak mampu.
Dengan kata lain jalur
formal mandiri adalah jalur bagi siswa kaya sedangkan jalur formal
standar adalah jalur bagi siswa miskin. Konyol memang. Aku sampai tidak
habis pikir bisa-bisanya pendidikan dikotak-kotakkan berdasarkan tingkat
fianansial dari peserta didik. Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa
pada jalur formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang
kurang mampu miskin agar dapat menuntut ilmu pada jalur ini. Yang jadi
pertanyaan sekarang adalah Berapa banyak sich beasiswa yang disediakan?.
Pemerintah
sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada lima persen siswa miskin
yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur formal
mandiri. Menurut ku ini juga merupakan salah satu bentuk kebodohan yang
lain. Coba saja kita bayangkan seandainya ada seorang siswa miskin yang
memperoleh beasiswa untuk bersekolah di jalur formal mandiri yang nota
bene tempat sekolahnya siswa kaya. Bukankah kondisi seperti ini malah
menjadikan siswa miskin ini menjadi minder dan rendah diri. Ketika
teman-temannya selalu mengenakan seragam yang bersih dan tersetrika
dengan rapi dengan menggunakan pelembut dan pewangi pakaian sedangakan
siswa miskin ini hanya mampu mengenakan seragam bekas alias hibahan dari
tetangganya, bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin
ini menjadi objek tontonan bagi siswa-siswa kaya?
Apakah pembagian jalur pendidikan ini merupakan salah satu misi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa?
Menurutku,
pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi bangsa kita dalam mengejar
ketertinggalan dengan bangsa lain. Aku cukup salut dengan pemerintah
Kamboja dan Thailand yang mulai berbenah diri dengan berfokus pada
pendidikan warga negaranya. Kedua negara ini mulai merintis pendidikan
gratis bagi warga nya. Pemerintah Kamboja sendiri mulai mengalihkan
sembilan belas persen dari total anggarannya yang biasanya digunakan
sebagai angaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan.
Lantas
bagai mana dengan visi dan misi pendidikan di Indonesia? Mau dibawa ke
mana pendidikan di Negara kita? Apakah pendidikan sudah menjadi barang
dagangan yang nantinya menghasilkan outputan berupa selembar sertifikat
dan ijazah bukannya keahlian dan daya analitis? Dan apakah pendidikan
hanya menjadi milik dan hak orang kaya saja?
Apakah memang orang miskin dilarang sekolah?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar